ARTIKEL
TAWURAN PELAJAR
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi
di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah
melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal
yang wajar pada remaja.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa
perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori
dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya)
yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila
mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus,
halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan
kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin
adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan
siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para
pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk
memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar
tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka
panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP
PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan,
pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga
dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275
sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah
menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada
sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara
ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang
memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang
dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab
perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar,
masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis,
juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya),
serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis,
perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu
bentuk kenakalan remaja (juvenile
deliquency). Kenakalan
remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi
yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian
terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi.
Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah
secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat
perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada
aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk
berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya.
Peristiwa
seperti itu tidak boleh dibiarkan. Semua pihak harus merasa prihatin
dan tidak boleh sekedar menuding atau menyalahkan pihak-pihak tertentu. Apa
jadinya, manakala peristiwa seperti itu terjadi di tempat lain dan selalu
berulang. Siapapun akan gelisah. Orang tua yang menyekolahkan anaknya tidak
akan tenang, khawatir anaknya menjadi korban. Kepala sekolah dan guru akan
merasa terbebani. Demikian pula, siswa yang sebenarnya tidak ikut-ikut
akan merasa terancam.
Jumlah
sekolah sedemikian banyak. Manakala tidak ada jaminan keselamatan dan
ketenangan, maka pihak-pihak yang terkait dengan sekolah akan gelisah dan
merasa tertekan. Sekolah yang semestinya melahirkan suasana
damai, menyenangkan, dan menjadi harapan masa
depan, justru berbalik menjadi tempat yang menakutkan dan atau
setidak-tidak mengkhawatirkan. Sekolah tidak boleh melahirkan suasana seperti
itu.
Sekolah
adalah tempat anak-anak menimba ilmu,
berlatih berperilaku luhur, terpuji dan
mulia. Di tempat itu para siswa diajari ilmu pengetahuan
dan tata krama pergaulan sehari-hari. Ke sekolah bukan mencari musuh, melainkan
justru belajar tentang banyak hal, tidak terkecuali
mencari teman. Tidak ada satu pun sekolah yang mengajari para
siswanya bermusuhan,
dan apalagi tawuran. Kejadian itu betul-betul
membuat banyak orang repot dan wajar melahirkan pertanyaan,
sebenarnya ada apa di sekolah hingga peristiwa yang sangat
menyedihkan itu terjadi.
Ada beberapa
hal yang kiranya bisa diambil pelajaran dan juga bahan perenungan
selanjutnya, yaitu :
Pertama, Bahwa
kualitas hasil pendidikan tidak selalu ditentukan oleh jumlah anggaran yang
disediakan. Dulu, banyak orang mengkritik rendahnya
kualitas pendidikan, disebabkan jumlah anggaran sangat terbatas.
Ternyata setelah pemerintah menganggarkan 20 % dari APBN pada setiap tahunnya, persoalan
pendidikan masih saja muncul, yang juga tidak kurang rumitnya untuk
diselesaikan, seperti adanya tawuran antar pelajar ini.
Kedua, sementara
orang menganggap bahwa pendidikan di kota, lebih-lebih di kota besar
lebih unggul dibandingkan dengan pendidikan di kota kecil dan apalagi
di pedesaan. Pada aspek-aspek tertentu, pendidikan di
perkotaan memiliki kelebihan, seperti sarana dan prasarana,
lingkungan, dan lain-lain. Akan tetapi ternyata, lingkungan perkotaan memiliki
problem tersendiri yang tidak selalu mendukung prosess pendidikan.
Pendidikan kharakter,mungkin justru lebih
mudah ditanamkan di sekolah-sekolah yang jauh dari hiruk
pikuk perkotaan.
Ketiga,
pendidikan tidak cukup hanya dimaknai secara sederhana,
yaitu sebagai proses penyampaian seperangkat pelajaran yang tertuang
dalam kuriukulum pada setiap jenjang satuan pendidikan. Mata
pelajaran itu sebenarnya adalah alat yang digunakan untuk membentuk watak,
prilaku, dan tabiat para siswa. Namun terasa
aneh ketika pelajaran itu dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima oleh
para siswa pada rentangan waktu tertentu, lingkup tertentu, dan kedalaman
tertentu. Kewajiban para siswa menerima pelajaran, tanpa mereka
mengetahui maksud dan filosofinya, kecuali hanya
agar lulus ujian, akan dirasakan sebagai beban yang memberatkan. Manakala itu
yang terjadi, maka para siswa tidak akan merasakan
nikmatnya belajar, dan bahkan juga nikmatnya ilmu
pengetahuan. Selain itu, sekolah hanya akan diangap sebagai tahapan yang
harus dilalui oleh setiap anak pada usia tertentu. Akibatnya,
sekolah tidak lebih menjadi tempat yang menggelisahkan dan
membelenggu. Suasana seperti itu bisa diamati gelajanya dari ketika mereka
lulus akan mengekspresikan kegembiraannya secara berlebihan, lewat saling
mencorat-coret baju, dan juga kebut-kebutan.
Keempat, mestinya
harus disadari bahwa, pelajaran apapun yang diberikan di sekolah,
tujuannya harus diketahui benar oleh para siswa. Dalam Islam,
kegiatan pencaharian ilmu adalah dimaksudkan untuk meraih puncak religiousitas,
yaitu memahami dirinya sebagai bekal untuk mengenali
Tuhannya. Oleh karena itu, maka belajar apa saja, biologi, fisika, kimia,
matematika, psikologi, sosiologi, sejarah, seni, bahasa, filsafat,
dan lain-lain, harus memulainya dengan
menyebut Asma Allah, dan baru berakhir dalam arti
meraih apa yang dicari tatkala mencapai puncak
kesadaran, tentang adanya Dzat Yang Maha Kuasa.
Proses dan orientasi seperti dikemukakan
itu, sangat berbeda dibandingkan
dengan ketika mempelajari ilmu pengetahuan hanya dimaksudkan
untuk mempersiapkan ujian dan kemudian agar memperoleh selembar
ijazah. Proses kegiatan seperti itu bisa dimaknai, sebagaimana
seringkali terdengar, yaitu para siswa baru
diajar, tetapi belum dididik. Maka
pantas, mereka mudah tawuran, dan kehilangan nilai-nilai
yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai anak terpelajar.
terdapat
sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian
pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian
biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks.
Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat
ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan
banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada
remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan
(entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak,
ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya,
sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya,
orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai
individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang
unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya
secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang
dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang
sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah
terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu,
lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya
suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran,
tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang
melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu
masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting.
Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta
sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau
dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah
yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana
transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota
(bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk
belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi
KESIMPULAN
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering
terjadi di antara pelajar. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang
wajar pada remaja. Banyak sekali dampak negatif dari tawuran tersebut contoh
umum nya seperti luka atau tewas nya para siswa dan rusaknya fasilitas umum. Penyebab
perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar,
masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis,
juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya),
serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Sekolah adalah
tempat anak-anak menimba ilmu, berlatih berperilaku luhur,
terpuji dan mulia. Di tempat itu para siswa diajari ilmu
pengetahuan dan tata krama pergaulan sehari-hari. Ke sekolah bukan mencari
musuh, melainkan justru belajar tentang banyak hal, tidak
terkecuali mencari teman. Faktor-faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar yaitu : Faktor
Internal, Faktor Keluarga, Faktor Sekolah, Faktor Lingkungan.
PENDAPAT
Perkelahian pelajar
tentu merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari
perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat
perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami
cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan
fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan.
Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang
paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa
terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Banyak faktor
yang di tuduhkan seperti yang dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang
memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang
dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah. Padahal penyebab
terjadinya perkelahian itu tidak sesederhana itu. Mestinya harus disadari
bahwa, pelajaran apapun yang diberikan di sekolah,
tujuannya harus diketahui benar oleh para siswa. Dalam Islam,
kegiatan pencaharian ilmu adalah dimaksudkan untuk meraih puncak religiousitas,
yaitu memahami dirinya sebagai bekal untuk mengenali
Tuhannya.
Sumber :
http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html