Resensi
Dongeng Si Gadis Kerudung Merah dan Serigala (Prosa Lama)
Di tepi sebuah hutan di kaki gunung,
berdirilah sebuah rumah. Rumah itu tidak begitu besar, tetapi dari luar tampak
sangat nyaman. Di dalam rumah itu tinggal seorang wanita tua. Meskipun sudah
tua, wanita itu masih sangat mampu mengurus dirinya sendiri. Di seberang hutan
di belakang rumahnya, ada sebuah desa dimana putrinya tinggal. Dari putrinyalah
wanita itu memiliki seorang cucu. Seorang gadis kecil.
Gadis kecil itu lahir saat tengah malam,
saat bulan bulat penuh bersinar terang bahkan di tengah hutan yang gelap. Dan
mungkin karena itulah gadis kecil itu memiliki kulit putih hampir pucat yang
membuatnya seperti selalu bersinar di antara anak-anak lain. Dan yang membuat
gadis kecil itu berbeda adalah, dia sama sekali tidak takut saat malam tiba.
Dia seperti menjadi lebih berani saat bulan muncul.
Saat gadis itu merayakan ulang tahunnya
yang kelima, neneknya datang dan memberinya hadiah yang terbungkus kertas
berwarna coklat dan diikat dengan pita putih. Dengan penasaran gadis kecil itu
membuka kadonya. Setelah pita dibuka dan lipatan kertas diuraikan, matanya
melebar berbinar-binar. Dengan tangan kecilnya gadis itu mengangkat benda
berwarna merah di hadapannya dan memandanginya dengan wajah memerah. Dan
setelah memeluknya dan mengibar-ngibarkannya sambil berputar-putar, gadis kecil
itu menubruk neneknya dan tersenyum lebar. "Terima kasih nenek!"
Dan neneknya mengecupnya dan mengucapkan
selamat ulang tahun sambil tersenyum. Kemudian, gadis kecil itu mulai
kebingungan bagaimana harus memakai benda merah itu. Diapun berlari menghampiri
ibunya dan memberikan hadiahnya pada ibunya, dia merengek agar ibunya segera
memakaikan benda merah cantik itu padanya. Ibunya mengangkat benda itu dan
dengan segera memasangnya di tubuh putrinya. Dia mengikat tali di kedua bahu
putrinya dan terakhir menutup kepala putrinya dengan kerudung merah yang
menggantung dari jubah merahnya. Setelah terpasang sempurna, gadis itu
tersenyum lebar dan berputar-putar, membuat jubah merahnya berkibar. Saat itu,
dia sudah sama sekali melupakan hadiah dari ibu dan ayahnya yang belum
dibukanya dan masih tergeletak di lantai.
Dan disisa hari itu, gadis kecil itu terus
memakai jubah merahnya hingga dia tertidur di sofa empuk di depan perapian, di
pangkuan neneknya, berharap agar neneknya tidak pulang ke rumahnya di sisi lain
hutan. Jadi, wanita itu tinggal bersama putrinya untuk malam itu.
Di tengah hutan, terdapat sebuah gua. Di
dalam gua itu seekor luper* kecil tinggal sendirian. Sudah lama dia tidak
bertemu dengan kawanan luper lain dan dia sudah sangat terbiasa hidup sendirian
di dalam guanya yang hangat.
Pada suatu siang, saat luper kecil itu
sedang menikmati tidur siangnya untuk menghindari cahaya terang matahari,
telinganya tiba-tiba bergoyang dan berdiri tegak saat menangkap sebuah suara di
dekat mulut guanya. Dia menaikkan wajahnya sedikit untuk mengendus bau yang
masuk dari luar gua, kemudian dia mendengkur dan kembali melanjutkan tidur
siangnya. Di luar gua, seekor kelinci gemuk dengan bulu coklat melompat
melewati mulut gua dan masuk ke dalam lubang di bawah pohon besar tidak jauh
dari situ.
Sejauh yang bisa diingat luper kecil itu,
dia belum pernah sekalipun melihat luper lain di dalam hutan. Dia sama sekali
tidak tahu di mana orang tuanya atau bahkan apakah dia memiliki orang tua.
Luper kecil itu sesekali berjalan ke desa
dengan jubah berkerudung yang pernah ditemukannya di bebatuan di tepi sungai
untuk menyembunyikan telinganya yang berbulu. Kadang dia hanya memandangi
orang-orang yang kadang memberinya sepotong roti dengan wajah gemas, kadang dia
berjalan-jalan tanpa tujuan mengelilingi desa dan memandangi anak-anak kecil
yang berlarian. Kadang anak-anak kecil itu menatapnya lama-lama, kemudian
mereka biasanya akan tersenyum lebar dan melambai padanya.
Terakhir kali dia berjalan ke desa, dia
bertemu dengan gadis kecil yang memakai jubah merah. Gadis itu menatapnya
dengan penasaran, dan saat luper kecil itu balas menatapnya, gadis itu
tersenyum lebar dan menghampirinya, memberinya sebuah benda bulat
berwarna-warni yang terasa manis. Belum pernah sekalipun luper itu mencicipi
benda seperti itu. Dan untuk pertama kali, luper itu membalas senyuman yang
diberikan padanya. Setelah itu, gadis kecil itu bersama wanita yang menggandeng
tangannya meninggalkan luper itu duduk sendirian sambil menjilati benda bulat
manis di tangannya.
Hari itu terasa berbeda dari hari-hari
biasanya, dan luper itu berharap akan bertemu lagi dengan si gadis berkerudung
merah itu dan wanita yang bersamanya yang entah mengapa membuatnya merasa
nyaman saat wanita itu menepuk kepalanya yang berkerudung dengan ringan.
Setelah matahari tenggelam dan bulan mulai
berkuasa di langit, luper itu mengangkat kepalanya. Matanya yang berwarna hitam
berkilat di dalam gelapnya gua, dalam sekejap warna hitamnya memudar dan digantikan
pupil berwarna keemasan. Diapun berjalan keluar dari dalam gua, mencari sesuatu
untuk sarapan malamnya. Pertama, luper itu berjalan ke arah sungai untuk
membasahi kerongkongannya yang kering. Dan setelah puas minum, luper itu
mencuci wajahnya dan tangan juga kakinya yang sedikit kotor. Dia terbiasa
melakukannya saat akan berjalan ke desa, dan lama-kelamaan, itu menjadi hal
yang wajib dilakukannya. Malam itu, dia tidak ingin ke desa, dia ingin berjalan
ke tempat lain. Arah sebaliknya.
Setelah beberapa saat berlari (berjalan
versinya) luper itu sampai di dekat tepi hutan. Dia berhenti saat mencium aroma
wangi yang seperti menguras seluruh isi perutnya, membuatnya lapar dalam
sekejap. Dengan penasaran, luper itu mulai mendekati sumber aroma hingga sampai
di tepi hutan. Sebuah rumah kecil berwarna coklat berpagar abu-abu dengan
halaman depan yang dipenuhi bunga-bungaan tampak di hadapannya. Dari
cerobongnya tampak asap tipis berwarna kelabu. Jendela rumahnya tampak
bercahaya keemasan, dan luper itu hanya terbengong di pinggir hutan.
Tanpa sadar kakinya perlahan membuatnya
mendekati rumah itu, aroma wangi yang menyerbu hidungnya seperti membuat
tubuhnya melayang, seperti ngengat yang otomatis terbang mendekat begitu cahaya
tampak di depannya. Dan sebelum luper itu menyadarinya, pintu rumah itu terbuka
dan seorang wanita tua berambut keperakan muncul dan menatapnya. Saking
terkejutnya, luper itu hanya balik menatap wanita itu, sama sekali lupa
menutupi telinganya yang mencuat di kedua sisi kepalanya. Walau begitu, wanita
tua itu tersenyum padanya dan memanggilnya masuk. Dengan patuh luper itu
berjalan mendekat dan berhenti di depan pintu, menatap wanita tua yang masih
saja tersenyum padanya.
"Kau mau berdiri terus di situ atau
masuk dan ikut mencicipi kaserol ayamku yang masih hangat di depan
perapian?" tawar wanita itu membuat luper kecil itu menatapnya dan dengan
gugup masuk ke dalam rumah. Wanita itu kemudian berjalan di depannya dan
menyuruhnya duduk di sebuah kursi di depan perapian. Kemudian dia muncul lagi
dengan dua buah piring berukuran sedang dan memberikan salah satunya pada luper
itu. Dengan mata hitam berbinar, luper itu menatap sepotong kaserol di
piringnya. Itu adalah benda paling sedap yang pernah diciumnya selain aroma
manis permen yang pernah dicicipinya. Tambah lagi, benda itu mengeluarkan uap
yang membuatnya susah payah menahan air liur.
Luper itu kemudian melirik wanita tua di
hadapannya, wanita itu memotong kaserolnya dengan garpu kemudian menusuk
potongan kaserolnya dan memakannya. Dan luper itu mengikutinya (itu juga
pertama kalinya luper itu memakai garpu dan piring untuk makan). Saat
memasukkan kaserol itu ke dalam mulutnya, mata luper itu berbinar-binar dan dia
mulai menghabiskan kaserolnya dengan lahap membuat wanita itu tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah menghabiskan sepotong kaserol
untuk yang kesekian kali, luper itu sekarang menggenggam cangkir yang mengepul.
Cairan di dalamnya berwarna putih kental dan anehnya dia sangat menyukai baunya
yang manis sekaligus gurih. Dia merasa pernah mencium aroma itu tetapi sama
sekali tidak bisa mengingatnya. Perlahan luper itu mulai meminumnya, tetapi
masih juga tidak mengingat kapan dan di mana dia pernah mencicipi rasa yang
hampir serupa. Wanita itu masih saja menatapnya dengan diam hingga luper itu
menghabiskan seluruh isi cangkirnya dan menggenggam cangkirnya sambil menjilati
bibirnya yang 'berkumis' putih. Masih ada aroma susu yang tertinggal di cangkir
itu, dan dia menyukainya.
"Apa yang kau lakukan di hutan?"
tanya wanita itu memecahkan kesunyian. Luper itu hanya menatapnya tiba-tiba dan
perlahan telinganya terlihat melemas, menyatu dengan rambut hitamnya yang
mencuat. Mata luper itu kembali pada cangkir di tangannya.
"Aku, tinggal di hutan," luper
itu menjawabnya dengan lirih seolah dia baru saja bisa berbicara dengan suara
manusia. Tanpa sadar wanita itu membelalak, tetapi dengan cepat dia
menyembunyikannya dan tersenyum lalu mulai menanyai luper kecil itu
pertanyaan-pertanyaan sederhana dan dijawab dengan singkat. Satu hal yang
segera disadari wanita tua itu, anak kecil dengan wajah manis dan rambut hitam
mencuat yang sewarna dengan matanya itu adalah anak luper yang entah bagaimana
memiliki bentuk lebih menyerupai manusia (kecuali untuk telinganya), dan anak
itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya adalah seekor luper (atau makhluk
setengah luper karena wanita itu tahu luper tidak bisa berbicara). Dan dari
selera makannya, wanita itu langsung bisa menebak kalau luper kecil yang duduk
di hadapannya sangat jarang memakan sesuatu yang masih berdarah dan sering
berkeliaran di desa. Entah kenapa, luper kecil itu menyukai berada di dekat
manusia, mungkin karena instingnya yang membuatnya lebih nyaman berada di dekat
sesamanya.
*luper: serigala humanoid. Ukurannya dua
kali serigala biasa dan tetap merupakan makhluk karnivora. Bukan manusia
serigala.
Kesimpulan
:
Cerita ini
berkisah tentang seorang gadis bernama Kerudung Merah, yang mengenakan kerudung
merah atau topi sederhana. Gadis itu berjalan melalui hutan untuk memberikan
makanan kepada neneknya yang sedang sakit itu (jus anggur dan roti pisang).
Seekor serigala ingin memakan gadis
itu, dan roti pisang dalam keranjang, tapi takut anjing kecil yang dibawanya.
Dia mendekati si Kerudung Merah dan mengatakan kepadanya mau pergi kemana. Dia
menyarankan gadis itu untuk memilih beberapa bunga. Sementara itu, serigala
pergi ke rumah nenek dan berhasil masuk dengan berpura-pura menjadi gadis itu.
Dia menelan seluruh tubuh nenek, (Dalam beberapa cerita, dia mengunci nenek di
dalam lemari), dan menunggu gadis itu dengan menyamar sebagai nenek.
Ketika gadis itu tiba, ia melihat
bahwa neneknya terlihat sangat aneh. Si Kerudung Merah kemudian berkata,
"Telinga Nenek besar sekali!," ("Supaya aku bisa mendengar
suaramu lebih jelas, cucuku"), "Tapi, Nek, mata Nenek besar
sekali!," ("Supaya aku bisa melihatmu lebih jelas, sayangku"),
"Tapi Nek tangan Nenek besar sekali!," ("Supaya aku bisa
memelukmu dengan erat, sayangku") dan terakhir "Tapi Nek mulutmu
besar sekali!" ("Supaya aku dengan gampang menangkapmu!").
Serigala langsung melompat tempat tidurnya dan menelan si Kerudung Merah,
kemudian tertidur lelap.
Seorang penebang pohon (dalam Grimm Brothers, dan selalu
dalam tradisi Jerman adalah seorang pemburu), entah bagaimana,
datang untuk menyelamatkan dan membuka perut serigala yang masih tertidur
dengan kapaknya. Si Kerudung Merah dan neneknya muncul tanpa terluka. Mereka
mengisi tubuh serigala dengan batu-batu berat. Serigala terbangun dan mencoba
melarikan diri, tetapi batu-batu itu menyebabkan dia ambruk dan mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar